Said Salahudin: Saksi Bayaran Dari Masyarakat
GarudaNusantaraSatu.Web.id, Jakarta
Selama puluhan kali Pemilu saya ikut mengawal proses pemungutan dan penghitungan suara (pungut-hitung) melalui jalur Pemantau Pemilu. Tiga kali Pileg (2004 – 2014), tiga kali Pilpres (2004 – 2014), satu kali Pemilu serentak (2019), dan puluhan kali Pilkada di berbagai daerah di Indonesia (2005 – 2018). Hal ini dikatakan Said Salahudin salah satu tim khusus (timsus) Partai Buruh kepada media.(30/01/24)
Said mengatakan dimulai dengan menjadi relawan Komite Independen Pemantau Pemilu atau KIPP (2004), lalu memimpin pemantauan Pemilu melalui lembaga Lingkar Madani untuk Indonesia atau LIMA (2006 – 2009) yang dirinya dirikan bersama Ray Rangkuti, dan lembaga Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia atau SIGMA (2009 – 2021) yang dirikan bersama Christofel Nalenan (ex-direktur JPPR) dan Hendra Setiawan (ex-produser Radio Elshinta).
“Pada Pemilu 1999, spirit Reformasi masih sangat terasa. partai-partai politik cenderung masih idealis. Untuk mengamankan suara, mereka menempatkan Saksi-Saksi di TPS dengan mengedepankan semangat voluntarisme atau kesukarelawan. Setiap anggota partai, termasuk para simpatisan mempunyai kesadaran untuk ikut ambil bagian menjadi Saksi di TPS, tanpa mengharapkan imbalan apapun. Mereka meyakini, jika partai politiknya menang, maka kehidupan mereka akan lebih baik,” ujarnya.
Ia menjelaskan,sampailah kemudian mulai terjadi suatu perubahan mindset tentang Saksi pada saat digelar Pilpres pertama di tahun 2004. Kala itu para capres mulai merasa kesulitan menempatkan Saksi di TPS karena tidak semua anggota dan simpatisan partai mendukung capres-cawapres yang diusung oleh partai politik yang mereka dukung. Tidak berjalannya kaderisasi di internal partai membuat antusiasme dan militansi anggota parpol untuk menjadi Saksi di TPS pun kian menurun.
“Kondisi tersebut semakin terasa di Pemilu 2009 ketika para pengusaha dan artis mulai banyak yang memilih terjun ke dunia politik dengan maju sebagai caleg. Orang-orang berduit yang tidak mengakar di masyarakat itu mulai mengedepankan uang sebagai alat transaksi dengan masyarakat untuk menjadi Saksi di TPS,” aku Said.
Terang Said, Spirit voluntarisme atau kesukarelawanan pun akhirnya bergeser menjadi semangat pragmatisme. Ada uang, Saksi datang. Tidak ada uang, Saksi menghilang.
“Pada Pemilu 2014 dan terlebih lagi di Pemilu 2019, politik uang (money politics) kian merajalela. Kesulitan capres dan caleg untuk menempatkan Saksi di TPS direspons oleh para taipan dengan menggelontorkan duit dalam jumlah besar ke hampir semua parpol dan capres-cawapres,” paparnya.
Tambah Said, para konglomerat itu tahu betul kesulitan yang dialami parpol dan para paslon Pilpres untuk menunjuk Saksi. Disinilah terjadi sebuah persekongkolan jahat antara para politisi dengan para pemilik modal. Suatu persekutuan yang pada gilirannya berujung pada politik balas jasa yang merusak sistem demokrasi. Setelah para politisi itu terpilih, maka sistem politik dan kebijakan negara akan berada dibawah kendali para pengusaha.
“Lalu, bagaimana para Saksi bayaran itu bekerja? Dari 20 tahun pengalaman saya memantau Pemilu, saya menemukan fakta bahwa Saksi-Saksi yang bukan berasal dari anggota partai itu sesungguhnya lebih berorientasi pada berapa banyak uang yang bisa masuk ke kantong mereka.,” ucapnya.
Lanjutnya, tak jarang, walau pun sudah menerima imbalan dari partai dan para caleg, para Saksi bayaran tersebut justru memanfaatkan Surat Mandat yang mereka terima untuk mencari lebih banyak uang dengan melakukan pengkhianatan.
“Bagaimana modusnya? Mereka gunakan Surat Mandat atau kekuasaannya sebagai Saksi resmi, untuk mengalihkan suara partai dan caleg yang mereka wakili kepada partai dan caleg yang lain. Apa buktinya? Pada suatu TPS partai politik bahkan tidak memperoleh suara sama sekali alias 0 suara, padahal mereka punya Saksi di TPS tersebut,” papar Said.
Praktik diatas bisa terjadi antara lain disebabkan karena para Saksi bayaran itu tidak mempunyai hubungan emosional dengan partai politik yang diwakilinya.
” Mereka tidak mempunyai sense of belonging, tidak punya rasa memiliki, tidak muncul tanggung jawab moril dari dalam dirinya untuk sungguh-sungguh mengamankan suara partai dan caleg yang telah membayar mereka,” tutup Said.(red)