MSM Law Firm Akan Gugat PT IWIP Soal Dugaan Penyerobotan Lahan Dua Desa Di Halteng
GarudaNusantaraSatu,web.id-Ternate
Pengacara senior dari MSM Law Firm selalu kuasa hukum warga desa Woejerana dan Desa Woekob, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Dr, Muhammad Syukur Mandar, SH, MH pada hari Senin pekan depan akan mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan oleh PT IWIP ke Pengadilan Negeri Soa Sio,Kota Tidore Kepulauan. Hal ini di katakannya saat ditemui awak media. (18/06/23)
M. Syukur Mandar mengatakan PT IWIP diduga melakukan penyerobotan lahan warga di Desa Woejerana dan Desa Woekob, Kecamatan Weda Tengah. Dimana lahan warga itu belum dilakukan pelepasan hak secara sah. Namun PT IWIP sudah menggusur lahan warga dan telah membangun stok file.
” PT IWIP diduga melakukan tindakan melawan Hukum yang telah menguasai, mengambil alih secara paksa lahan perkebunan masyarakat dengan sejumlah kejanggalan seperti melalui Kepala Desa Woejerana sertifikat lahan usaha 2 (dua) masyarakat berjumlah 18 buah diambil dan diserahkan kepada PT. IWIP dengan alasan lahan milik masyarakat tersebut dibebaskan, dibeli, dan dibayar oleh PT. IWIP. Namun pada kenyataanya lahan perkebunan masyarakat tersebut tidak dibayar hingga saat ini,” ungkapnya.
Ia menerangkan jumlah lahan perkebunan masyarakat yang sudah digarap 20 tahun lebih di area tanah Restan seluas 142,5 Hektar, diserobot, digusur dan dikuasai oleh PT IWIP tanpa ganti rugi yang layak kepada masyarakat.
” Jumlah lahan usaha 2 (dua) bersertifikat yang belum dibayar adalah seluas 152 Hektar, dari 200 Hektar Lahan usaha dua, yang sudah dibayar berjumlah 48 Hektar lahan masyarakat Desa Woejerana,” terang Mandar
Mandar menjelaskan Jumlah lahan garapan perkebunan masyarakat di area tanah HPL dan HPH seluas 1.285 Hektar, didalamnya terdapat tanaman yang sudah menghasilkan telah digusur secara paksa oleh PT. IWIP dan sama sekali tidak ada ganti rugi.
” Masyarakat lingkar tambang terancam miskin secara masif dan struktural karena lahan-lahan perkebunan milik mereka sebagai basis mata pencaharian mereka sudah dikuasi oleh PT. IWIP, digusur, dikuasai, digunakan untuk kepentingan perusahaan tanpa pembayaran hak-hak atas lahan masyarakat dan kompensasi yang layak sesuai ketentuan undang-undang,” paparnya.
Terang dia, akibat penyerobotan tersebut, masyarakat sudah tidak memiliki alternatif lain dalam mata pencariannya karena laut, air sungai sudah tercemari dengan polusi dan limbah perusahaan, sehingga itu menjadi ancaman atas kelangsungan kehidupan mereka.
” Ada oknum Kepala Desa yang diduga kuat bekerjasama dengan oknum-oknum surveyer yang dikenal dengan pihak eksternal PT. IWIP bekerja sama merekayasa harga jual tanah/lahan dan melakukan pemotongan-pemotongan dari harga jual tanah yang dibayar PT. IWIP kepada masyarakat,” aku Mandar.
Mandar menjelaskan harga jual tidak merata, untuk harga jual tanah sertifikat 22.000 permeter, tanah lahan perkebunan dilahan restan bervariasi, 9000 per meter dan 15.000 per meter, dimana harga 15.000 per meter untuk tanah tidak ada tanaman, sementara tanah ada tanaman dihargai 9000 per meter.
“Pembayaran lahan/tanah dari PT. IWIP kepada masyarakat dilakukan melalui rekening Kepala Desa, dan dilakukan pemotongan oleh Kepala Desa Woejerana dan Woekop, untuk Desa Woejerana pemotongan senilai 20 juta, dan desa woekop senilai 5 juta bagi warga dusun satu, dan 20 juta untuk warga diluar dusun satu,” jelasnya.
Tambahnya, harga jual tanah per meter dan luas lahan yang diukur oleh PT. IWIP tidak disampaikan kepada pemilik lahan. Hanya oknum surveyer PT. IWIP dan oknum Kepala Desa yang mengetahui, sehingga diduga kuat ada manipulasi jumlah luas lahan yang dijual dan harga jual lahan per meter oleh oknum Kepala Desa dan Oknum Eksternal PT. IWIP dan di duga kuat ada penggelapan uang lahan bersertifikat, lahan perkebunan di areal tanah restan, oleh Kepala Desa Woejerana dan Kepala Desa Woekob.
” Masyarakat sering ditekan oleh oknum aparat Kepolisian dan Oknum Aparat TNI di areal lahan kebun mereka apabila mereka menghalangi proses penyerobotan dan penggusuran lahan oleh PT. IWIP,” katanya.
Lanjut Mandar, seluruh transaksi pembayaran tanah digusur, dibayar secara paksa dilakukan tanpa ada transparansi, tanda bukti pembayaran, tanpa ada Akta jual beli, tanpa SKT, dan dilakukan dengan cara-cara yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara Hukum oleh oknum-oknum Aparat Desa dan Oknum Kepala Desa yang diduga kuat atas kerjasama dengan oknum-oknum surveyer / eksternal PT. IWIP.
” Diduga kuat kepala Desa Woejerana menerbitkan SKT palsu diatas lahan perkebunan masyarakat diarea tanah restan masyarakat dan kemudian menjual kepada PT IWIP, dengan harga jual 9000 per meter, dengan total luas lahan untuk Desa Woejarana senilai 16 hektar, penjualan tahap pertama berjumlah 13 hektar, dengan nilai jual Rp 1.170.000.000.- (satu milyar seratus tujuh puluh juta rupiah), tahap dua sebanyak 3 hektar dengan total Rp 270.000.000.-(dua ratus tujuh puluh juta rupiah),” imbuhnya.
Masyarakat mengeluhkan dana CSR yang tidak dirasakan manfaatnya, tidak transparan dikelolah oleh Kepala Desa dan tidak jelas peruntukannya dari PT. IWIP kepada masyarakat lingkar tambang.
” Kami minta kepada Pj.Bupati, Ketua DPRD dan Kapolres Halmahera Tengah untuk ikut bertanggungjawab atas lahan warga yang dikuasai PT. IWIP secara melawan Hukum
Kepada Bapak Kapolres untuk memproses kepala Desa Weojerana dan Woekop atas sejumlah dugaan penyimpanan dana penjualan lahan masyarakat dan pemotongan harga jual lahan dan manipulasi harga lahan masyarakat sesuai ketentuan Hukum yang berlaku,” desak pengacara ini.
Ia menegaskan, jika pernyataan ini tidak ditindak lanjuti maka masyarakat akan melakukan aksi boikot seluruh aktifitas tambang di lahan milik masyarakat yang telah digusur dan dikuasai oleh PT. IWIP.
” Selaku Kuasa Hukum,kami akan mengajukan Gugatan Melawan Hukum pada PT. IWIP di Pengadilan untuk memastikan terpenuhi hak-hak masyarakat baik secara moril maupun materil oleh PT. IWIP. Dan Kepada Bapak Kapolres untuk mengusut harta tidak wajar Kepala Desa Woejerana dan Desa Woekop baik kepemilikan rumah, mobil dan lain-lain yang tidak sesuai dengan penghasilannya. (Tim/red)